Sabtu, 27 April 2013

Gonjang-Ganjing UN

Tanggal 15-18 April 2013 jadi hari paling keramat di Indonesia bagi murid sekolah dasar hingga menengah atas, orang tua dan wali murid, guru, kepala sekolah, bahkan menteri pendidikan hingga jajaran-jajarannya. Segala usaha dan cara dilakukan ketika mendekati tanggal ini, mulai dari usaha-usaha keduniaan seperti belajar (walau secara terpaksa), bimbel, kursus, les, atau apapun namanya; usaha-usaha keagamaan seperti salat tahajud, istigasah, halal bi halal; hingga usaha-usaha klenik dan perdukunan yang aneh bin ajaib bin tolol seperti mandi kembang bahkan mendoakan pensil!

Ya, apalagi kalau bukan Ujian Nasional. Ujian yang membuat jantung berdetak kencang karena dengan ujian ini akan ditentukan apakah masa depan seseorang akan “dianggap” cerah atau surrreemm ala Warkop DKI. Apalagi untuk tahun ini ada 20 paket yang diidentifikasi dengan barcode.

Jauh-jauh hari pemerintah sudah mempersiapkan segalanya mulai dari memilih percetakan yang dapat memenangkan tender, menyiapkan materi sebanyak 20 jenis, dan tentu saja yang terpenting adalah menyiapkan anggaran. Ujian ini konon merupakan cermin dari kemajuan sistem pendidikan di Indonesia. Tapi itu menurut para petinggi di kementerian pendidikan sana yang tentunya belum pernah merasakan langsung bagaimana suasana kelam UN (karena waktu zaman mereka sekolah dulu tentu belum ada UN). Namun apakah kenyataannya juga seperti itu? Jauh panggang dari api kalau menurut saya.

Kenyataannya, UN adalah lahan subur bagi orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatannya. Permainan uang adalah hal penting di sini. Momen ini dijadikan sebagai tempat basah yang tentu sangat rawan korupsi. Tidak mengherankan banyak lembaga yang doyan berkecimpung di bagian ini tanpa memikirkan bagaimana tertekannya para siswa dan orang tuanya. Bagi mereka yang penting duit, perasaan siswa tidak digubris sama sekali.

Tidak hanya itu, UN sangat rawan kecurangan. Tiap tahun ada saja celah bagi para pecundang untuk mengintip jawaban UN yang nantinya akan disebarkan ke siswa. Dengan alasan takut tidak lulus, para siswa akhirnya mengesampingkan harga diri dengan melihat sontekan. Dan parahnya hal ini diamini saja oleh para guru! Bahkan terkadang malah guru yang terlibat dalam proses haram ini!

Jujur, waktu UN SMP, saya bahkan dianjurkan oleh guru saya untuk memberikan jawabannya ke teman-teman. Pada waktu itu, beberapa hari menjelang UN memang ada sekumpulan siswa yang berinisiatif untuk mengadakan musyawarah, dan hasilnya mereka akan menganjurkan siswa-siswa yang dianggap mempunyai kemampuan yang lebih untuk “menolong” temannya karena harga diri sekolah saya (yang waktu itu sudah bertaraf nasional dan sedang dalam rintisan untuk menjadi sekolah bertaraf internasional) sangat dipertaruhkan.

Saya yang dianggap mempunyai kemampuan yang lebih, juga dipaksa untuk memberikan “bantuan”. Awalnya saya menolak, dengan tegas saya menolak, karena jujur, dari kecil saya sudah punya prinsip untuk tidak menyontek waktu ujian atau memberikan jawaban karena hal itu merupakan tindakan curang yang bahkan dibenci agama karena terdapat dua dosa di dalamnya, dosa curang dan dosa menjerumuskan orang lain ke dalam jurang kesesatan. Namun teman-teman saya tetap saja mengancam bahwa saya akan terkucilkan kalau masih berpegang teguh pada prinsip tersebut. Salah seorang di antara mereka bahkan mengutip hadis bahwa orang yang tertindas itu doanya akan diijabah Allah, oleh karena itu jangan main-main dengan orang tertindas yang tidak diberi “bantuan” saat kesusahan (baca: UN), kata beliau. Mendengar itu saya seolah ingin berkata, “Hei, memangnya siapa yang sebenarnya tertindas? Dasar pandir, cepatlah bertobat! Kiamat makin dekat!”

Kejadian itu diperparah dengan pernyataan wali kelas yang mengiyakan dan mengamini perbuatan haram tersebut. Yap, lengkaplah sudah penderitaan saya. Saya jadi ingin menangis mendengarnya. Sudah sesesat inikah sistem pendidikan di Indonesia, ya Tuhan?

Sewaktu SMA saya tidak lagi dijadikan tumbal karena sudah ada “malaikat penolong” entah darimana yang mempunyai kunci jawaban. Kunci jawaban itu dibagikan diam-diam beberapa hari sebelum UN. Saya tidak tahu apakah guru-guru mengetahui namun membiarkannya atau memang mereka tidak tahu. Yang jelas, kebanyakan (saya tidak bilang semua, karena saya yakin masih ada yang jujur) siswa mengandalkan “karunia malaikat penolong” tersebut. Walhasil, ada teman-teman saya dapat nilai yang cukup tinggi, padahal sehari-hari mereka cuma pintar bolos dan bohong. Sedangkan saya harus puas dengan nilai tujuh koma sekian. Adilkah? Saya kira bukan cuma orang waras, orang gila pun bilang ini sangat tidak adil.

Namun sayang sekali, itulah realitas yang terjadi. Sayangnya lagi, ketika dimintai pertanggungjawaban, petinggi kementerian pendidikan hanya cengar-cengir mesam-mesem saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Pertanyaan saya, mengapa hal yang sarat akan tindak kejahatan seperti UN ini masih saja dipertahankan? Apa mereka di kemendiknas tidak tahu beban para siswa beserta keluarganya? Apa mereka tidak pernah baca berita tentang siswa yang stres atau bahkan bunuh diri gara-gara tidak lulus?

Coba sejenak bercermin ke salah satu negara dingin nun jauh di sana, Finlandia. Perlu Anda ketahui bahwa di Finlandia ujian hanya diadakan saat orang ingin masuk dunia kerja. Selama sekolah sama sekali tidak ada ujian. Jangan tanyakan kualitas gurunya. Di sana guru minimal harus berjenjang S-2. Murid-murid yang lemah tingkat pemahamannya dapat perlakuan lebih, tanpa membanding-bandingkan dengan murid yang punya kelebihan. Kualitas pendidikannya? Nomor satu di dunia. Lalu mengapa bangsa kita dengan sistem pendidikan yang amburadul, guru yang kurang berpengalaman, fasilitas pendidikan yang belum memadai, masih mati-matian mempertahankan UN bahkan sampai dijadikan anak emas dalam refleksi sistem pendidikan? Kita semua tentu bisa berusaha untuk melakukan yang terbaik. Namun bila caranya dengan paksaan seperti ini, akankah kita bisa dengan ikhlas menjalankannya?

Saya berharap pemerintah mempertimbangkan kembali keadaan ini. Saya, begitu juga seluruh masyarakat Indonesia mendambakan alternatif yang lebih baik selain UN ini. Jangan sampai masyarakat jadi tumbal kebobrokan pemerintah.

Ditulis oleh Eko Nur-Syah Hidayat di kamar saya di pojok rumah saya yang berlokasi di sebuah perkampungan di Bekasi, Jawa Barat (Koordinat:  6°12'50.33"LS 106°58'31.71"BT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar