Sabtu, 23 Maret 2013

Hukum Indonesia: Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas


11 Mei 2009, Prita Mulyasari divonis bersalah atas tuduhan tindakan pencemaran nama baik RS Omni oleh PN Tangerang dan dijatuhi hukuman denda sebesar 161 juta untuk kerugian material dan 100 juta untuk kerugian nonmaterial serta penjara tiga minggu. Padahal Prita mempunyai dua anak dan keduanya masih balita. (kompas.com)

19 November 2009, seorang nenek bernama Minah divonis 1 bulan 15 hari penjara atas tuduhan pencurian tiga buah kakao. Padahal Minah telah meminta maaf bahkan mengembalikan tiga buah kakao yang diambilnya tanpa izin itu. (detik.com)

20 Desember 2011, seorang pelajar berinisial AAL divonis hukuman 5 tahun penjara atas tuduhan pencurian sandal. Padahal orang tuanya sudah berniat sandal yang dicurinya. Sedangkan Briptu Ahmad Rusdi dan Briptu Simpson yang menganiaya AAL hanya divonis masing-masing 7 dan 21 hari. Kasus ini sempat menyita perhatian publik bahkan sempat menjadi berita utama The Washington Post dengan judul "Sandal Jepit, Simbol Baru Keadilan di Indonesia," (republika.com)

Lalu bandingkan dengan yang ini.

11 Januari 2010, petugas menemukan ruang tahanan Artalyta Suryani berisi barang-barang mewah saat dilakukan sidak oleh Satgas Mafia Hukum. Padahal Artalyta sudah divonis bersalah melakukan penyuapan sebesar $660000 kepada Urip Tri Gunawan. (tempo.com)

5 November 2010, meski sudah ditetapkan sebagai tahanan kepolisian, Gayus Tambunan masih bisa bebas keluar dan terlihat sedang menonton pertandingan tenis di Bali. Meski sampai sekarang masih diragukan, namun pihak kepolisian mengaku Gayus memang sempat minta izin untuk keluar rutan dengan alasan sakit. (kompas.com)

23 Mei 2011, Nazarudin masih bisa kabur ke luar negeri setelah sehari sebelumnya menerima surat cekal dari KPK mengenai kasus korupsi Wisma Atlet. Bahkan setelah ditangkap di Cartagena de Indias, Kolombia beberapa bulan setelahnya dan dibawa kembali ke Indonesia, Nazarudin masih bisa melenggang ke Singapura. (kompas.com)

Terlihat perbedaannya kan? Berita di atas hanyalah segelintir lembaran hitam sistem peradilan hukum di Indonesia. Ibarat pulpen, betapa tajamnya hukum menghujam ke bawah dan melukai serta mengotori hati rakyat yang seputih kertas. Tak terhitung berapa banyak cairan penghapus yang membersihkannya. Namun sang pulpen tetap memuntahkan isinya.

Namun itulah faktanya. Lembaga peradilan kini sudah impoten, tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Pasal-pasal KUHP bagi rakyat kecil ibarat peluru yang menghujam jantung, namun bagi para petinggi hanyalah sebuah coretan yang termaktub dalam kitab. Hukum hanya berlaku untuk mereka yang tidak mampu membayar pengacara. Bahkan kini KUHP adalah singkatan dari “Kasih Uang Habis Perkara”.

Dunia benar-benar sudah terbalik. Kasus-kasus besar seperti korupsi dan kawan-kawannya dianggap kecil, namun sebaliknya kasus-kasus sederhana yang mungkin bisa diselesaikan secara kekeluargaan bahkan dibesar-besarkan.

Kita tentu sepakat bahwa ini semua sangat tidak adil. Namun kita seolah tak berdaya menghadapi ini semua. Bukannya kita diam saja, namun para petinggi begitu lincah memainkan permainan ini karena wasit-wasit diberi amplop untuk memenangkan yang besar.Sedangkan yang kecil, bahkan kalah sebelum bertanding.

Sebagai intermezo, saya berikan sebuah hitung-hitungan kalau kita seolah-olah bersikap adil. AAL divonis 5 tahun penjara hanya gara-gara tiga buah sandal. Sebuah sandal seharga Rp85000, jadi dia diminta mengganti Rp255000. Kalau dibandingkan dengan kasus Gayus yang mengorupsi 100 milyar rupiah, maka seharusnya Gayus dihukum selama 1960784 tahun!!! Bahkan mungkin setelah bebas dia sudah jadi fosil!

Namun bagaimana kenyataannya? Kini kita melihatnya sendiri. Kasus Gayus dan Nazarudin sampai sekarang tidak jelas “juntrungannya”, seolah menguap begitu saja. Ditutup-tutupi oleh pergiliran jabatan tersangka ke beberapa orang. Si A korupsi, si B dan si C kena getahnya, terus bergulir dan menubruk yang lain laksana efek domino. Tak jarang orang yang memang terbukti bersalah memilih pengacara sebagai tempat bergantung dan rela membayar lebih demi terhindar dari penjara, seolah-olah pengacara lebih mulia daripada Tuhan. Yang dipenjara bahkan masih bisa merasakan nikmatnya “hotel prodeo”, dalam arti yang sesungguhnya. Sayang sekali hukum tidak berhasil menciptakan efek jera pada pejabat yang berada dalam lingkaran setan ini.

Itulah kenyataan pahit yang kita hadapi sekarang. Para petinggi makin jauh dari moral dan agama. Seolah-olah dua hal tersebut hanya dominasi para ulama.

Saatnya kita bertindak lebih cepat. Kembalilah kepada nilai-nilai luhur moral dan agama. Cegah perilaku negatif sejak hal itu mulai bertunas pada diri anak-anak kita. Sekecil apa pun tindakan preventif yang kita lakukan, akan berpengaruh besar pada masa depan. Ayo kita mulai dari sekarang!

Ditulis oleh Eko Nur-Syah Hidayat di kamar saya di pojok rumah saya yang berlokasi di sebuah perkampungan di Bekasi, Jawa Barat (Koordinat:  6°12'50.33"LS 106°58'31.71"BT)





Jumat, 15 Maret 2013

14 Maret: Merenungi Kesalahan Terbesar Manusia Indonesia terhadap π


Kemarin tanggal 14 Maret, geng gw bernama PT. Frizy resmi merayakan hari jadi yang ke-6. Horeee, selamat ulang tahun PT. Frizy! :~ Semoga para anggotanya makin akrab, makin jaya, makin sukses, dan makin-makin hal2 baik lainnya, aamiin

Anggota PT Frizy: Ardy (cowok paling depan), Icut (cewek yg gak pake kerudung), Puput (kerudung biru), Zakia (kerudung putih kekuningan), Yasmin (kerudung item), Dwika (di belakang Icut), dan gw sendiri (penampakan di belakang Ardy)

Kemarin tanggal 14 Maret, pada tahun 1879 telah lahir seorang ilmuwan besar yg tidak diragukan lagi kepintarannya, telah menemukan rumus2 terdahsyat sepanjang masa, dan bahkan otaknya diawetkan hingga saat ini. Beliau tidak lain dan tidak bukan adalah Albert Einstein (baca: albert ainstain). Horee, Selamat hari jadi ke-134 Einstein, semoga ilmu Allah yang dianugerahkan kepadanya dan tertuang dalam rumus2 dan postulat2 terus dikembangkan dan dipakai untuk kemaslahatan penduduk dunia.

Albert Einstein

Kemarin tanggal 14 Maret, yg dalam sistem penanggalan Barat ditulis 3/14, sebagian ilmuwan dan masyarakat (khususnya di Amerika Serikat) merayakan sebuah hari bernama Hari π (pi) karena tanggal ini mirip dengan nilai π, yaitu 3,14. Horee, selamat Hari π! :~

The Pi Pie

Tunggu sebentar, gw menulis π sebagai pi? Bukannya phi ya? Yang sudah diajarkan sejak SD dulu? Bukan, yang bener pi, dia bilangan irasional, TIDAK SAMA DENGAN 22/7, dan bukan tiga koma empat belas. Lho, saya diajarinny dari dulu yang namanya π disebut phi, nilainya 22/7 alias tiga koma empat belas? Aduuh, udah deh. Daripada salah kaprah (ntar diomelinnya ama si Mr. π (baca: Mr. P) lho..), mending kita bahas yuk beberapa kesalahan mengenai π yg lumrah di Indonesia.

1.       π dibaca PI, bukan PHI
Sejak dulu, kita diajarkan bahwa π adalah PHI. Padahal itu SALAH BESAR. Ini menunjukkan bahwa orang Indonesia byk yang lebay, udah gitu salah lagi, udah gitu dikoreksi malah nyolot lagi :f

Yang benar, π adalah PI. Mengapa? Karena fonem “ph” dibaca “f”. Kata serapan yang berasal dari bahasa Inggris dan mengandung fonem “ph”, ketika diindonesiakan menjadi “f”. Contoh “photo” jadi “foto”, “diphthong” jadi “diftong”, dsb. Lagipula, bahasa Indonesia tidak mengenal konsonan ganda “ph”. Konsonan ganda hanya ada 4 dalam bahasa Indonesia, yaitu “sy”, “kh”, “ny”, dan “ng”. Jadi gak usah lebay mau ngikutin Inggris, padahal di Barat aja nulisnya PI. Di sini lebay mau ngikut2 doang, sampe belaga2an PI ditulis PHI.

Huruf PHI ada, dan tulisannya bukan π tetapi φ. Phi juga salah satu bilangan, nilainya adalah 1,618. Pernah dengar istilah “Rasio Emas”? Di situlah phi dipakai. Berapa perbandingan jumlah lebah betina dan lebah jantan pada suatu koloni lebah? Berapa perbandingan tinggi tubuh kita dengan tinggi dari kepala hingga pusar? Berapa perbandingan jarak dari Mekah ke Kutub Selatan dengan jarak dari Mekah ke Kutub Utara? Semua itu jawabannya adalah phi (φ) alias 1,618.

2.       π tidak sama dengan 22/7
Sejak dulu, kita diajarkan bahwa selain 3,14, π juga bernilai 22/7. Hal ini tidak sepenuhnya benar. Nilai π disamakan dengan 22/7 biasanya hanya untuk memudahkan perhitungan (bayangkan kalo harus mengalikan suatu bilangan dengan 3,14159…. Belibet kan kalo gak pake kalkulator?) Nilai 22/7 diakui sebagai nilai pendekatan. Selain 22/7, ada juga nilai pendekatan 333/106, 355/133, 52163/16604, dan juga 103993/33102 (sumber: Artikel Wikipedia bahasa Inggris mengenai Pi). Namun disalahgunakan dengan menyebut π = 22/7 sehingga fatal akibatnya. Murid jadi terdoktrin bahwa π sama dengan 22/7, seolah-olah ini menjadi sebuah aksioma.

Hasil dari 22/7 juga 3,14, namun perlu diingat bahwa nilai π dan 22/7 HANYA SAMA jika dibulatkan hingga dua angka di belakang koma. Bagaimana jika tiga angka di belakang koma dan seterusnya? Mari kita lihat.

Nilai π telah diidentifikasi ilmuwan berada di antara nilai 21/7 dengan 22/7 (21/7< π <22/7). Nilai π (hingga 20 angka di belakang koma) adalah 3,14159265358979323846, sedangkan nilai desimal 22/7 adalah 3,142857142857… begitu seterusnya selalu berulang setiap angka 142857. Beda jauh kan?

Lagipula, π adalah bilangan irasional alias bilangan yang tidak dapat dinyatakan dalam bentuk a/b (pecahan). Menyamakan π dengan 22/7 adalah suatu kesalahan besar yang mungkin, tidak bisa ditoleransi lagi. (mungkin itu sebabnya Indonesia gak maju2 :t)

3.       Nilai π bukan tiga koma empat belas!
Saya gak tau apakah di luar negeri juga begini. Tapi kebanyakan orang Indonesia menyebut π sebagai TIGA KOMA EMPAT BELAS! Lho, memangnya salah ya? Mari kita analisis.

Ingatkah dulu waktu SD, kita diajarkan mengenai bilangan puluhan dan satuan? Misalkan 93 berarti 9 puluhan ditambah 3 satuan, alias 9x10 + 3x1, dibaca SEMBILAN PULUH TIGA. Ingat? Lalu ingatkah Anda saat pertama kali belajar bilangan desimal? Angka pertama di belakang koma berfungsi sebagai persepuluhan, angka kedua di belakang koma sebagai perseratusan, angka ketiga sebagai perseribuan, dst. Sehingga 1,25 berarti 1 satuan ditambah 2 persepuluhan ditambah 5 perseratusan, alias 1x1 + 2x(1/10) + 5x(1/100). Bagaimana cara membacanya? SATU KOMA DUA LIMA.

Mengapa tidak dibaca satu koma dua puluh lima? Karena seperti yang telah kita analisis tadi, 2 pada 1,25 TIDAK MENUNJUKKAN puluhan, melainkan persepuluhan. Tidak bisa dibaca 20. Sehingga cara baca 3,14 adalah tiga koma satu empat, bukan tiga koma empat belas (karena empat belas berarti 1 menunjukkan puluhan dan 4 menunjukkan satuan).

Kalo masih ada yang nyebut tiga koma empat belas, ada beberapa kemungkinan. Mungkin memang dia gak pernah sekolah, atau pernah sekolah tapi lupa gara2 kebanyakan nonton sinetron, atau pernah sekolah tapi pas diterangin demikian lagi tidur atau gak masuk atau pingsan atau mati sesaat, atau mungkin juga udh sekolah sampe sarjana dan udah pernah belajar namun masih ngeyel ngikutin arus yang salah, atau yang lebih buruk lagi dia tahu seperti itu namun mata hatinya, pendengarannya, penglihatannya, telah tertutup dan hatinya telah membatu sehingga tidak bisa menerima masukan2 baik dari luar.

Demikianlah analisis singkat ini. Semoga bermanfaat.

Ditulis oleh Eko Nur-Syah Hidayat di kamar saya di pojok rumah saya yang berlokasi di sebuah perkampungan di Bekasi, Jawa Barat (Koordinat:  6°12'50.33"LS 106°58'31.71"BT)

Sumber gambar:
dokumen pribadi (PT Frizy)

http://en.wikipedia.org/wiki/Albert_Einstein (Albert Einstein)
http://en.wikipedia.org/wiki/Pi_day (Pi Pie)

Selasa, 12 Maret 2013

Ada Apa Ini?

Seperti biasa, saya akan melakukan log masuk ke dalam ‘Studentsite’. Kali ini saya ingin melihat transkrip nilai semester 3 yang menurut teman saya, sudah keluar dan sudah bisa dilihat di situ. Oke, sebentar lagi masa-masa galau akan dimulai.

Setelah mengisi username dan password dan saat ingin menekan tombol ‘Enter’, mata saya malah tertuju pada 3 bundaran berwarna putih dan biru di sebelah kolom log masuk. Entah mengapa mata saya berpaling ke situ. Seharusnya ada sesuatu yang penting yang bisa menjadi pusat perhatian di situ.  


Sambil memperhatikan selang-seling warna biru dan putih pada bagian tersebut, saya memperhatikan tulisan-tulisan di dalamnya. Ternyata itu adalah langkah-langkah untuk membuat Studentsite. Pertama, verifikasi data dan pastikan Anda terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Gunadarma; kedua, isi formulir yang disediakan sesuai dengan ketentuan; dan ketiga,… hey, tunggu sebentar! “aktifasi”?


Tahukah Anda, di antara kata “aktif” dengan “aktiv”, manakah yang merupakan kata baku? Ya, benar. Yang baku adalah “aktif”, karena peraturannya, akhiran -ive dalam bahasa Inggris diserap menjadi akhiran -if dalam bahasa Indonesia. Akhiran -if ini berfungsi sebagai pembentuk kata sifat. Kita semua pasti sudah tahu contohnya. Aktif, pasif, superlatif, komparatif, deduktif, induktif, dsb.

Kembali ke masalah “aktifasi”. Saya jadi teringat dulu saya pernah menonton acara Binar (Bahasa Indonesia yang Benar) di TVRI. Waktu itu yang menjadi narasumber adalah Bapak Dendy Sugono dari Pusat Bahasa. Episode saat itu membahas tentang aturan-aturan penyerapan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Salah satunya adalah “jika suatu kata dalam bahasa asing yang akan diserap terdiri dari kata dasar yang berimbuhan, maka penyesuaian ejaan dalam proses penyerapannya langsung berdasarkan kata berimbuhan tersebut, bukan berdasarkan kata dasarnya yang ditambah imbuhan.”

Bingung ya? Begini, saya beri contoh. Misalnya “standard” dan “standardization” akan diserap ke dalam bahasa Indonesia. Tentu semua paham bahwa kata “standardization” dibentuk dari kata “standard” yang diberi imbuhan -ization yang berfungsi untuk membentuk kata benda. Ketika diserap ke dalam bahasa Indonesia, kata “standard” menjadi “standar” dan “standardization” menjadi “standardisasi” bukan “standarisasi” karena diserap langsung dari kata “standardization”, bukan dari kata “standar” yang ditambahkan imbuhan -isasi. Contoh lainnya adalah “secular” menjadi “sekuler” dan “secularism” menjadi “sekularisme”.

Lalu bagaimana dengan “activation”? Apakah kata tersebut diserap sebagai “aktifasi”? Sesuai dengan kaidah di atas. Maka seharusnya yang baku adalah “aktivasi”, sama seperti “aktiva” dan “aktivitas”, bukan “aktifa” dan “aktifitas”. Kita cek dengan membuka KBBI terbaru yaitu KBBI IV. Ternyata lema “aktivasi” belum terdaftar di situ. Mengingat kata ini sudah sedemikian luas penggunaannya dan kata tersebut sudah memenuhi kaidah ketaatasasan, maka kata ini mungkin bisa masuk ke dalam daftar lema baru pada KBBI V yang mungkin akan terbit 3-5 tahun lagi.

Sekarang muncul pertanyaan. Lembaga pendidikan setingkat universitas saja bisa melakukan kesalahan, bagaimana kita sebagai mahasiswa yang berpanut padanya? Saya pikir kesalahan ini seharusnya tidak terjadi, tetapi nyatanya bahkan muncul hingga tiga kali (lihat gambar). Manusia tidak luput dari kesalahan, namun ingat kesalahan timbul karena manusia luput dari pembelajaran. Sehingga keadaan ini memaksa kita untuk senantiasa belajar.

Dalam hal ini, saya hanya pembatasi permasalahan sampai penggunaan kata baku saja. Sebenarnya bila kita lihat gambar di atas, maka akan banyak kesalahan-kesalahan kecil yang ditemui, seperti frasa “Bagaimana aktifasi account?” yang terdengar sedikit aneh jika dibandingkan dengan frasa “Bagaimana cara mengaktivasi akun?”, pemakaian istilah asing yang padahal sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia seperti “step” alih-alih “langkah”, dan lain-lain.

Saya yakin Tim UG in Your Hand (bahasa Indonesianya apa ya? Bagaimana kalau UG dalam genggaman? :) ) adalah orang-orang berpendidikan tinggi, serta berpikiran tajam lagi kritis. Namun, apakah semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin lupa orang tersebut akan kaidah berbahasa yang baku, baik, serta benar? Bukankah hal-hal tersebut sudah dipelajari bahkan sejak SD? Dan bukankah zaman sekarang segalanya bisa dipelajari bahkan melalui dunia maya? Lalu mengapa kita sangat malas untuk mempelajari bahasa sendiri, atau paling tidak hanya untuk sekadar membuka Pedoman Umum Pembentukan Istilah?

Anda memang tidak akan disiksa di neraka hanya gara-gara Anda menggunakan bahasa Indonesia yang tidak baku. Namun paling tidak, ini adalah sebuah tamparan keras bagi kita semua, termasuk saya sendiri selaku penulis. Jika terhadap bahasa asing saja kita sangat peduli, bahkan hingga ikut kursus di mana-mana, lalu mengapa terhadap bahasa sendiri kita bersikap apatis?

Tunggu sebentar, sepertinya saya melupakan satu hal. Oh iya, NILAI SAYA. Buru-buru saya tekan “Enter”, lalu saya pilih “Rangkuman Nilai”. Setelah menunggu beberapa lama, hasilnya… nilai belum dikeluarkan! Oh tidak, saya galau lagi…

Ditulis oleh Eko Nur-Syah Hidayat di kamar saya di pojok rumah saya yang berlokasi di sebuah perkampungan di Bekasi, Jawa Barat (Koordinat:  6°12'50.33"LS 106°58'31.71"BT)

Revitalisasi Blog

Kini sarana telah tersedia,waktu luang berhamparan, dan ide-ide berjatuhan dari langit.

Tunggu apa lagi? Ayo berkarya!