11 Mei 2009, Prita Mulyasari divonis bersalah atas tuduhan
tindakan pencemaran nama baik RS Omni oleh PN Tangerang dan dijatuhi hukuman
denda sebesar 161 juta untuk kerugian material dan 100 juta untuk kerugian
nonmaterial serta penjara tiga minggu. Padahal Prita mempunyai dua anak dan
keduanya masih balita. (kompas.com)
19 November 2009, seorang nenek bernama Minah divonis 1
bulan 15 hari penjara atas tuduhan pencurian tiga buah kakao. Padahal Minah telah
meminta maaf bahkan mengembalikan tiga buah kakao yang diambilnya tanpa izin
itu. (detik.com)
20 Desember 2011, seorang pelajar berinisial AAL divonis hukuman 5 tahun penjara atas tuduhan pencurian sandal. Padahal orang tuanya sudah berniat sandal yang dicurinya. Sedangkan Briptu Ahmad Rusdi dan Briptu Simpson yang menganiaya AAL hanya divonis masing-masing 7 dan 21 hari. Kasus ini sempat menyita perhatian publik bahkan sempat menjadi berita utama The Washington Post dengan judul "Sandal Jepit, Simbol Baru Keadilan di Indonesia," (republika.com)
Lalu bandingkan dengan yang ini.
11 Januari 2010, petugas menemukan ruang tahanan Artalyta Suryani berisi barang-barang mewah saat dilakukan sidak oleh Satgas Mafia Hukum. Padahal Artalyta sudah divonis bersalah melakukan penyuapan sebesar $660000 kepada Urip Tri Gunawan. (tempo.com)
5 November 2010, meski sudah ditetapkan sebagai tahanan kepolisian, Gayus Tambunan masih bisa bebas keluar dan terlihat sedang menonton pertandingan tenis di Bali. Meski sampai sekarang masih diragukan, namun pihak kepolisian mengaku Gayus memang sempat minta izin untuk keluar rutan dengan alasan sakit. (kompas.com)
23 Mei 2011, Nazarudin masih bisa kabur ke luar negeri setelah sehari sebelumnya menerima surat cekal dari KPK mengenai kasus korupsi Wisma Atlet. Bahkan setelah ditangkap di Cartagena de Indias, Kolombia beberapa bulan setelahnya dan dibawa kembali ke Indonesia, Nazarudin masih bisa melenggang ke Singapura. (kompas.com)
Terlihat perbedaannya kan? Berita di atas hanyalah
segelintir lembaran hitam sistem peradilan hukum di Indonesia. Ibarat pulpen,
betapa tajamnya hukum menghujam ke bawah dan melukai serta mengotori hati
rakyat yang seputih kertas. Tak terhitung berapa banyak cairan penghapus yang
membersihkannya. Namun sang pulpen tetap memuntahkan isinya.
Namun itulah faktanya. Lembaga peradilan kini sudah impoten,
tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Pasal-pasal KUHP bagi rakyat
kecil ibarat peluru yang menghujam jantung, namun bagi para petinggi hanyalah
sebuah coretan yang termaktub dalam kitab. Hukum hanya berlaku untuk mereka
yang tidak mampu membayar pengacara. Bahkan kini KUHP adalah singkatan dari “Kasih
Uang Habis Perkara”.
Dunia benar-benar sudah terbalik. Kasus-kasus besar seperti
korupsi dan kawan-kawannya dianggap kecil, namun sebaliknya kasus-kasus
sederhana yang mungkin bisa diselesaikan secara kekeluargaan bahkan
dibesar-besarkan.
Kita tentu sepakat bahwa ini semua sangat tidak adil. Namun
kita seolah tak berdaya menghadapi ini semua. Bukannya kita diam saja, namun para
petinggi begitu lincah memainkan permainan ini karena wasit-wasit diberi amplop
untuk memenangkan yang besar.Sedangkan yang kecil, bahkan kalah sebelum
bertanding.
Sebagai intermezo, saya berikan sebuah hitung-hitungan kalau
kita seolah-olah bersikap adil. AAL divonis 5 tahun penjara hanya gara-gara tiga
buah sandal. Sebuah sandal seharga Rp85000, jadi dia diminta mengganti Rp255000.
Kalau dibandingkan dengan kasus Gayus yang mengorupsi 100 milyar rupiah, maka seharusnya
Gayus dihukum selama 1960784 tahun!!! Bahkan mungkin setelah bebas dia sudah
jadi fosil!
Namun bagaimana kenyataannya? Kini kita melihatnya sendiri.
Kasus Gayus dan Nazarudin sampai sekarang tidak jelas “juntrungannya”, seolah
menguap begitu saja. Ditutup-tutupi oleh pergiliran jabatan tersangka ke
beberapa orang. Si A korupsi, si B dan si C kena getahnya, terus bergulir dan
menubruk yang lain laksana efek domino. Tak jarang orang yang memang terbukti
bersalah memilih pengacara sebagai tempat bergantung dan rela membayar lebih
demi terhindar dari penjara, seolah-olah pengacara lebih mulia daripada Tuhan. Yang
dipenjara bahkan masih bisa merasakan nikmatnya “hotel prodeo”, dalam arti yang
sesungguhnya. Sayang sekali hukum tidak berhasil menciptakan efek jera pada pejabat
yang berada dalam lingkaran setan ini.
Itulah kenyataan pahit yang kita hadapi sekarang. Para petinggi makin jauh dari moral dan agama. Seolah-olah dua hal tersebut hanya dominasi para ulama.
Saatnya kita bertindak lebih cepat. Kembalilah kepada nilai-nilai luhur moral dan agama. Cegah perilaku negatif sejak hal itu mulai bertunas pada diri anak-anak kita. Sekecil apa pun tindakan preventif yang kita lakukan, akan berpengaruh besar pada masa depan. Ayo kita mulai dari sekarang!
Ditulis oleh Eko Nur-Syah Hidayat di kamar saya di pojok
rumah saya yang berlokasi di sebuah perkampungan di Bekasi, Jawa Barat
(Koordinat: 6°12'50.33"LS
106°58'31.71"BT)