Selasa, 12 Maret 2013

Ada Apa Ini?

Seperti biasa, saya akan melakukan log masuk ke dalam ‘Studentsite’. Kali ini saya ingin melihat transkrip nilai semester 3 yang menurut teman saya, sudah keluar dan sudah bisa dilihat di situ. Oke, sebentar lagi masa-masa galau akan dimulai.

Setelah mengisi username dan password dan saat ingin menekan tombol ‘Enter’, mata saya malah tertuju pada 3 bundaran berwarna putih dan biru di sebelah kolom log masuk. Entah mengapa mata saya berpaling ke situ. Seharusnya ada sesuatu yang penting yang bisa menjadi pusat perhatian di situ.  


Sambil memperhatikan selang-seling warna biru dan putih pada bagian tersebut, saya memperhatikan tulisan-tulisan di dalamnya. Ternyata itu adalah langkah-langkah untuk membuat Studentsite. Pertama, verifikasi data dan pastikan Anda terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Gunadarma; kedua, isi formulir yang disediakan sesuai dengan ketentuan; dan ketiga,… hey, tunggu sebentar! “aktifasi”?


Tahukah Anda, di antara kata “aktif” dengan “aktiv”, manakah yang merupakan kata baku? Ya, benar. Yang baku adalah “aktif”, karena peraturannya, akhiran -ive dalam bahasa Inggris diserap menjadi akhiran -if dalam bahasa Indonesia. Akhiran -if ini berfungsi sebagai pembentuk kata sifat. Kita semua pasti sudah tahu contohnya. Aktif, pasif, superlatif, komparatif, deduktif, induktif, dsb.

Kembali ke masalah “aktifasi”. Saya jadi teringat dulu saya pernah menonton acara Binar (Bahasa Indonesia yang Benar) di TVRI. Waktu itu yang menjadi narasumber adalah Bapak Dendy Sugono dari Pusat Bahasa. Episode saat itu membahas tentang aturan-aturan penyerapan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Salah satunya adalah “jika suatu kata dalam bahasa asing yang akan diserap terdiri dari kata dasar yang berimbuhan, maka penyesuaian ejaan dalam proses penyerapannya langsung berdasarkan kata berimbuhan tersebut, bukan berdasarkan kata dasarnya yang ditambah imbuhan.”

Bingung ya? Begini, saya beri contoh. Misalnya “standard” dan “standardization” akan diserap ke dalam bahasa Indonesia. Tentu semua paham bahwa kata “standardization” dibentuk dari kata “standard” yang diberi imbuhan -ization yang berfungsi untuk membentuk kata benda. Ketika diserap ke dalam bahasa Indonesia, kata “standard” menjadi “standar” dan “standardization” menjadi “standardisasi” bukan “standarisasi” karena diserap langsung dari kata “standardization”, bukan dari kata “standar” yang ditambahkan imbuhan -isasi. Contoh lainnya adalah “secular” menjadi “sekuler” dan “secularism” menjadi “sekularisme”.

Lalu bagaimana dengan “activation”? Apakah kata tersebut diserap sebagai “aktifasi”? Sesuai dengan kaidah di atas. Maka seharusnya yang baku adalah “aktivasi”, sama seperti “aktiva” dan “aktivitas”, bukan “aktifa” dan “aktifitas”. Kita cek dengan membuka KBBI terbaru yaitu KBBI IV. Ternyata lema “aktivasi” belum terdaftar di situ. Mengingat kata ini sudah sedemikian luas penggunaannya dan kata tersebut sudah memenuhi kaidah ketaatasasan, maka kata ini mungkin bisa masuk ke dalam daftar lema baru pada KBBI V yang mungkin akan terbit 3-5 tahun lagi.

Sekarang muncul pertanyaan. Lembaga pendidikan setingkat universitas saja bisa melakukan kesalahan, bagaimana kita sebagai mahasiswa yang berpanut padanya? Saya pikir kesalahan ini seharusnya tidak terjadi, tetapi nyatanya bahkan muncul hingga tiga kali (lihat gambar). Manusia tidak luput dari kesalahan, namun ingat kesalahan timbul karena manusia luput dari pembelajaran. Sehingga keadaan ini memaksa kita untuk senantiasa belajar.

Dalam hal ini, saya hanya pembatasi permasalahan sampai penggunaan kata baku saja. Sebenarnya bila kita lihat gambar di atas, maka akan banyak kesalahan-kesalahan kecil yang ditemui, seperti frasa “Bagaimana aktifasi account?” yang terdengar sedikit aneh jika dibandingkan dengan frasa “Bagaimana cara mengaktivasi akun?”, pemakaian istilah asing yang padahal sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia seperti “step” alih-alih “langkah”, dan lain-lain.

Saya yakin Tim UG in Your Hand (bahasa Indonesianya apa ya? Bagaimana kalau UG dalam genggaman? :) ) adalah orang-orang berpendidikan tinggi, serta berpikiran tajam lagi kritis. Namun, apakah semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin lupa orang tersebut akan kaidah berbahasa yang baku, baik, serta benar? Bukankah hal-hal tersebut sudah dipelajari bahkan sejak SD? Dan bukankah zaman sekarang segalanya bisa dipelajari bahkan melalui dunia maya? Lalu mengapa kita sangat malas untuk mempelajari bahasa sendiri, atau paling tidak hanya untuk sekadar membuka Pedoman Umum Pembentukan Istilah?

Anda memang tidak akan disiksa di neraka hanya gara-gara Anda menggunakan bahasa Indonesia yang tidak baku. Namun paling tidak, ini adalah sebuah tamparan keras bagi kita semua, termasuk saya sendiri selaku penulis. Jika terhadap bahasa asing saja kita sangat peduli, bahkan hingga ikut kursus di mana-mana, lalu mengapa terhadap bahasa sendiri kita bersikap apatis?

Tunggu sebentar, sepertinya saya melupakan satu hal. Oh iya, NILAI SAYA. Buru-buru saya tekan “Enter”, lalu saya pilih “Rangkuman Nilai”. Setelah menunggu beberapa lama, hasilnya… nilai belum dikeluarkan! Oh tidak, saya galau lagi…

Ditulis oleh Eko Nur-Syah Hidayat di kamar saya di pojok rumah saya yang berlokasi di sebuah perkampungan di Bekasi, Jawa Barat (Koordinat:  6°12'50.33"LS 106°58'31.71"BT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar