Setelah mengisi username dan password dan saat ingin menekan
tombol ‘Enter’, mata saya malah tertuju pada 3 bundaran berwarna putih dan biru
di sebelah kolom log masuk. Entah mengapa mata saya berpaling ke situ. Seharusnya
ada sesuatu yang penting yang bisa menjadi pusat perhatian di situ.
Sambil memperhatikan selang-seling warna biru dan putih pada
bagian tersebut, saya memperhatikan tulisan-tulisan di dalamnya. Ternyata itu
adalah langkah-langkah untuk membuat Studentsite. Pertama, verifikasi data dan
pastikan Anda terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Gunadarma; kedua, isi
formulir yang disediakan sesuai dengan ketentuan; dan ketiga,… hey, tunggu
sebentar! “aktifasi”?
Tahukah Anda, di antara kata “aktif” dengan “aktiv”, manakah
yang merupakan kata baku? Ya, benar. Yang baku adalah “aktif”, karena
peraturannya, akhiran -ive dalam bahasa Inggris diserap menjadi akhiran -if
dalam bahasa Indonesia. Akhiran -if ini berfungsi sebagai pembentuk kata
sifat. Kita semua pasti sudah tahu contohnya. Aktif, pasif, superlatif,
komparatif, deduktif, induktif, dsb.
Kembali ke masalah “aktifasi”. Saya jadi teringat dulu saya
pernah menonton acara Binar (Bahasa Indonesia yang Benar) di TVRI. Waktu itu
yang menjadi narasumber adalah Bapak Dendy Sugono dari Pusat Bahasa. Episode saat
itu membahas tentang aturan-aturan penyerapan bahasa asing ke dalam bahasa
Indonesia. Salah satunya adalah “jika suatu kata dalam bahasa asing yang akan
diserap terdiri dari kata dasar yang berimbuhan, maka penyesuaian ejaan dalam
proses penyerapannya langsung berdasarkan kata berimbuhan tersebut, bukan
berdasarkan kata dasarnya yang ditambah imbuhan.”
Bingung ya? Begini, saya beri contoh. Misalnya “standard”
dan “standardization” akan diserap ke dalam bahasa Indonesia. Tentu semua paham
bahwa kata “standardization” dibentuk dari kata “standard” yang diberi imbuhan -ization
yang berfungsi untuk membentuk kata benda. Ketika diserap ke dalam bahasa
Indonesia, kata “standard” menjadi “standar” dan “standardization” menjadi “standardisasi”
bukan “standarisasi” karena diserap langsung dari kata “standardization”, bukan
dari kata “standar” yang ditambahkan imbuhan -isasi. Contoh lainnya
adalah “secular” menjadi “sekuler” dan “secularism” menjadi “sekularisme”.
Lalu bagaimana dengan “activation”? Apakah kata tersebut
diserap sebagai “aktifasi”? Sesuai dengan kaidah di atas. Maka seharusnya yang
baku adalah “aktivasi”, sama seperti “aktiva” dan “aktivitas”, bukan “aktifa”
dan “aktifitas”. Kita cek dengan membuka KBBI terbaru yaitu KBBI IV. Ternyata lema
“aktivasi” belum terdaftar di situ. Mengingat kata ini sudah sedemikian luas
penggunaannya dan kata tersebut sudah memenuhi kaidah ketaatasasan, maka kata
ini mungkin bisa masuk ke dalam daftar lema baru pada KBBI V yang mungkin akan
terbit 3-5 tahun lagi.
Sekarang muncul pertanyaan. Lembaga pendidikan setingkat
universitas saja bisa melakukan kesalahan, bagaimana kita sebagai mahasiswa
yang berpanut padanya? Saya pikir kesalahan ini seharusnya tidak terjadi,
tetapi nyatanya bahkan muncul hingga tiga kali (lihat gambar). Manusia tidak
luput dari kesalahan, namun ingat kesalahan timbul karena manusia luput dari
pembelajaran. Sehingga keadaan ini memaksa kita untuk senantiasa belajar.
Dalam hal ini, saya hanya pembatasi permasalahan sampai
penggunaan kata baku saja. Sebenarnya bila kita lihat gambar di atas, maka akan
banyak kesalahan-kesalahan kecil yang ditemui, seperti frasa “Bagaimana aktifasi
account?” yang terdengar sedikit aneh jika dibandingkan dengan frasa “Bagaimana
cara mengaktivasi akun?”, pemakaian istilah asing yang padahal sudah ada
padanannya dalam bahasa Indonesia seperti “step” alih-alih “langkah”, dan
lain-lain.
Saya yakin Tim UG in Your Hand (bahasa Indonesianya apa ya?
Bagaimana kalau UG dalam genggaman? :) ) adalah orang-orang berpendidikan
tinggi, serta berpikiran tajam lagi kritis. Namun, apakah semakin tinggi
pendidikan seseorang, semakin lupa orang tersebut akan kaidah berbahasa yang
baku, baik, serta benar? Bukankah hal-hal tersebut sudah dipelajari bahkan
sejak SD? Dan bukankah zaman sekarang segalanya bisa dipelajari bahkan melalui
dunia maya? Lalu mengapa kita sangat malas untuk mempelajari bahasa sendiri,
atau paling tidak hanya untuk sekadar membuka Pedoman Umum Pembentukan
Istilah?
Anda memang tidak akan disiksa di neraka hanya gara-gara Anda
menggunakan bahasa Indonesia yang tidak baku. Namun paling tidak, ini adalah
sebuah tamparan keras bagi kita semua, termasuk saya sendiri selaku penulis. Jika
terhadap bahasa asing saja kita sangat peduli, bahkan hingga ikut kursus di
mana-mana, lalu mengapa terhadap bahasa sendiri kita bersikap apatis?
Tunggu sebentar, sepertinya saya melupakan satu hal. Oh iya,
NILAI SAYA. Buru-buru saya tekan “Enter”, lalu saya pilih “Rangkuman Nilai”. Setelah
menunggu beberapa lama, hasilnya… nilai belum dikeluarkan! Oh tidak, saya galau
lagi…
Ditulis oleh Eko Nur-Syah Hidayat di kamar saya di pojok
rumah saya yang berlokasi di sebuah perkampungan di Bekasi, Jawa Barat
(Koordinat: 6°12'50.33"LS
106°58'31.71"BT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar