Sabtu, 29 Juni 2013

BLSM Tidak Tepat Sasaran

Sabtu, 22 Juni 2013 pukul 00.00 pemerintah resmi menaikkan harga BBM bersubsidi jenis premium dan solar. Premium yang semula seharga Rp4500 per liter kini naik menjadi seharga Rp6500 per liter dan solar seharga Rp4500 per liter menjadi Rp5500 per liter.

Beberapa saat sebelum kebijakan itu diputuskan mulai berlaku, warga di berbagai tempat telah menyerbu SPBU-SPBU untuk memenuhi tangki kendaraan mereka sebelum harga BBM resmi dinaikkan. Penumpukan pun tak terkendali dan hal ini menyebabkan kemacetan di hampir seluruh wilayah di Indonesia, khususnya Jakarta.

Menteri Energi Jero Wacik (21/6) mengatakan bahwa pemerintah mengeluarkan kebijakan ini agar tekanan yang berasal dari kenaikan konsumsi BBM bersubsidi dapat dikelola dan diminimalkan dampaknya bagi masyarakat. Untuk itu, berbagai langkah seperti penghematan dan pengendalian belanja pemerintah, optimalisasi penerimaan negara serta pengendalian BBM bersubsidi dan konversi BBM bersubsidi ke gas telah diambil guna menyeimbangkan dan memulihkan anggaran negara.

Hal ini tentu menuai kontroversi dan perdebatan antargolongan. Sebut saja PKS yang menolak kenaikan harga BBM ini karena dikhawatirkan justru akan membebani masyarakat menengah ke bawah karena kenaikan harga BBM tentu akan membawa dampak besar bagi kenaikan harga kebutuhan pokok. Apalagi kebijakan ini diambil menjelang datangnya bulan suci Ramadan. Sedangkan golongan lain mendukung kebijakan ini agar anggaran negara dapat diselamatkan.

Sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM, akhirnya pemerintah juga mengeluarkan BLSM atau Bantuan Langsung Sementara Masyarakat. Dana 9,3 milyar telah dikucurkan untuk membiayai 15,5 juta rumah tangga selama 4 bulan dengan masing-masing dana kompensasi tiap bulan sebesar Rp150000.

Ternyata pelaksanaan program pemerintah ini bukan tanpa kendala. Masih banyak BLSM yang tidak tepat sasaran. Seperti dilansir situs okezone.com, Salma, seorang janda miskin korban bencana tsunami di Banda Aceh tidak menerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Tetangga lainnya yang berumah lebih bagus justru mendapat bagian.

Ada juga kasus di Waingapu, Nusa Tenggara Timur, sejumlah oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS), pegawai kontrak daerah, Pengusaha  dan bahkan isteri pejabat, justru terdata sebagai penerima BLSM. Kepala Dinas Sosial Kabupaten Sumba Timur, Ignas Pura Tanya menuturkan, sedikitnya ada 168 orang yang tidak berhak menerima tapi terdaftar dan bahkan telah menerima dananya.

Hal ini mengingatkan kita akan carut marut pembagian BLT (Bantuan Langsung Tunai). Kejadian serupa yang tentunya sangat tidak diinginkan ini lagi-lagi terulang. Sebagian kalangan menilai inilah potret buram pemerintah Indonesia. Rakyat pun semakin mengeluhkan kinerja pemerintah yang dari dulu tidak pernah becus menangani masalah seperti ini. 

Ditulis oleh Eko Nur-Syah Hidayat di kamar saya di pojok rumah saya yang berlokasi di sebuah perkampungan di Bekasi, Jawa Barat (Koordinat:  6°12'50.33"LS 106°58'31.71"BT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar